Solusi tanpa masalah

Bahan bakar dan listrik merupakan kebutuhan pokok bagi kenyamanan manusia yg sangat didambakan. Kebutuhan energi yang kini didominasi bahan bakar fosil terus meningkat seiring dg pemenuhannya yg semakin sulit. Pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, pola konsumsi adalah faktor penyebab peningkatan kebutuhan energi tsb. Konsekuensi logis, maka terjadilah peralihan paradigma ekonomi berdasarkan energi fosil menjadi paradigma ekonomi berdasarkan energi berkelanjutan. Pemberi solusi energi tanpa masalah lingkungan.

Produksi Briket dari Bungkil Pemerahan Minyak-Lemak, Aneka tungku, kompor briket/pelet biomassa dan kompor minyak jelantah

Produksi Briket dari Bungkil Pemerahan Minyak-Lemak (ibrahimst@live.com)

Untuk menambah rantai keekonomian dan pemanfaatan dari hasil dan sisa pengolahan minyak, maka bungkil, sludge dan cangkang dari sisa pemerahan minyak dapat digunakan untuk pembuatan briket selain untuk umpan penghasil biogas. Briket dari bungkil pemerahan ini dapat menyala layaknya briket dari batu bara. Briket dibuat dengan mencampurkan bungkil, sludge dengan bahan tambahan berupa arang sekam atau serbuk gergaji, dan bahan perekat pati singkong (tapioka). Sekam dipilih untuk meningkatkan nilai tambah petani padi, sehingga diharapkan terjadi aliansi dan sinergi di pedesaan. Pertimbangan lain, sekam tersedia cukup banyak yakni sekitar 1,36 juta ton setiap tahun dan sekam padi mampu menghasilkan energi panas dengan suhu mencapai 400oC. Sekam padi sebagai pencampur ini dapat berupa arang sekam atau sekam original. Dengan dijadikan arang yang disebut karbonisasi akan dihasilkan bio briket dengan asap relatif rendah. Komposisi bahan untuk membuat briket adalah limbah padatan (bungkil/ampas/cangkang) atau sludge sebanyak 58%, arang sekam sebanyak 25%, dan larutan pati sebanyak 17%. Proses diawali dengan tahap penjemuran untuk mengeringkan, menghaluskan dan mengayak untuk memperoleh ukuran yang seragam. Apabila menggunakan cangkang, maka cangkang tersebut terlebih dahulu harus diarangkan. Sekam atau serbuk gergaji dikarbonisasi dalam wadah tertutup, dihaluskan dan diayak untuk memperoleh ukuran yang seragam. Karbonisasi sekam dilakukan untuk membatasi jumlah oksigen (O2) selama pembakaran. Dengan sedikitnya oksigen, maka bahan yang dikarbonisasi tidak langsung menjadi abu, melainkan akan dihasilkan kristal berwarna hitam pekat dengan unsur karbon (C) yang tinggi. Karbonisasi sekam ini berlangsung selama 45-60 menit dengan rendemen sebesar 60%. Sebagai bahan perekat digunakan larutan pati 1% yang dipanaskan pada suhu 75oC selama 30 menit sebelum digunakan. Selama pemanasan larutan pati ini harus diaduk secara kontinyu agar panas yang diterima merata dan tidak terjadi penggumpalan di bagian bawah. Kemudian dilakukan pengempaan menggunakan mesin pengempa, dan dilanjutkan dengan pengeringan dalam oven pengering pada suhu 500 oC hingga didapatkan kadar air 5-7%.
Briket yang sudah kering dapat diketahui jika briket terasa ringan saat diangkat dengan tangan. Berat rata-rata briket yang dihasilkan pada saat basah adalah 30 gram dan berat rata-rata setelah kering adalah 22 gram. Dengan demikian, satu kg briket berisi kira-kira 50 buah. Briket harus disimpan dalam wadah yang tertutup untuk menghindari kontak dengan udara karena bila hal itu terjadi briket akan menyerap uap air yang ada di udara sehingga menjadi lembab dan akibatnya briket sulit menyala. Beberapa hasil penelitian menunjukkan kalor bio briket dengan komposisi yang telah diuraikan di atas berada sekitar 5.500 cal/g, sebanding dengan briket batu bara (muda). Pembakaran selama 1 jam hanya membutuhkan 10 buah briket. Untuk memproduksi briket dari limbah biomassa ini diperlukan beberapa peralatan, seperti Mesin Penghancur (crusher), Alat pencampur (mixer) dan Mesin Pencetak Briket, untuk peralatan-peralatan ini sebaiknya menggunakan peralatan yang dapat dioperasikan secara manual untuk menghindari penggunaan energi listrik atau bahan bakar minyak. Teknologinya sangat memungkinkan untuk produksi bengkel-bengkel kecil di daerah.


Tungku Briket Biomassa

Kompor Tekan Minyak Nabati



Today, wood and kerosene are still the main energy source in Indonesia, especially for domestic purposes in rural area. Wood consumption for domestic purposes in rural area results in deforestation of large areas creating severe ecological problems and over 68% of the household are consumed kerosene for cooking energy. Furthermore, import and subsidization of those kerosene burdens the budgets of government. So it is urgently required to utilize alternative methods for rural domestic purposes to solve the problems.
Indonesia as tropical countries already has vast variety of oil plants and almost plant-oils that are liquid in ambient temperatures can be used as cooking fuel. Plant oils are bio-degradable and its handling is both simple and safe. Almost of the plant oils can be used in modified kerosene pressure stoves which are available in the market. Basically, there are two possibilities alternatives for use plants oil in the stove. First, we use the plant oil which have the same or almost the same fuel characteristic with kerosene or we can modify the plant oil which have different fuel characteristics to fit the stove needed. But the price of the last option will give be roughly the same with kerosene’s price. The second, we can modify the stove to fit with the characteristics of the plants crude oil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar